Kamis, 05 Juli 2007

Sayyidatina Fathimah Az-Zahra as, simbol keagungan wanita.

Bismillahirrahmanirrahim
Allahumma shalli alaa Muhammad wa alihi Muhammad...

Tiga bulan berlalu. Kesedihan dan duka kepergian Rasulullah Saaw, telah merampas keceriaan putri kesayangan beliau,Sayyidatina Fathimah as. Peristiwa yang terjadisepeninggal Rasulullah Saaw, menambah luka hatiSungguh, betapa tragisnya peristiwa yang harus disaksikan oleh satu-satunya putri dan pewaris Nabi ini.
Hanya janji Rasulullah Saaw yang menjadikan pelipur lara Sayyidatina Fathimah as. Rasulullah Saaw pernah bersabda, “Putriku, engkau adalah orang pertama dari keluargaku yang pergi menyusulku.
Sayyidatina Fathimah as terbaring di pembaringan menunggu saat-saat akhir perpisahan dengan dunia fana ini. Waktu berjalan sedemikian lamban. Bukankah dia adalah Sayyidatina Fathimah as yang setiap pagi dan sore rumahnya selalu didatangi oleh Rasulullah Saaw sebelum pergi ke masjid dengan mengucapkan salam sejahtera atasnya?


"Assalamualaikum ya ahla baitin nubuwwah..", seraya membacakan ayat "Innama yuridullahu luyudzhiba ankumur rijsa ahlal bait wa yuthahhirukum tathhira". Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan noda dan dosa dari kalian, wahai AhlulBayt, dan membersihkan kalian sesuci-sucinya".

Imam Ali as, suami Sayyidatina Fathimah as dan anak-anaknya duduk di atas pembaringan putri Rasulullah Saaw itu. Usia pendek Sayyidatina Fathimah as namun sarat dengan kebesaran dan keagungan itu berlau dengan cepat. Imam Ali as memandang istrinya dan teringat akan sabda Rasulullah Saaw, “Wahai Ali, Fathimah adalah buah hatiku. Demi Allah, Fathimah tidak pernah menyakiti hatiku dan tidak pernah melanggar perintahku. Setiap kali aku memandangnya, seluruh duka dan kesedihan hatiku akan lenyap seketika.”


Imam Ali as teringat tahun kelima hijrah ketika Sayyidatina Fathimah as dilahirkan. Betapa suka citanya Rasulullah Saaw saat itu. Ayah seorang nabi dan ibu yang mulia seperti Sayyidatina Khadijah Al-Kubra membentuk kepribadian agung pada diri Sayyidatina Fathimah as. Setelah Sayyidatina Khadijah wafat, dialah yang menggantikan peran sang ibu sebagai pelipur lara dan derita ayahnya,Rasulullah Saaw.
Peran dan tugas itu dilaksanakan dengan baik sehingga Rasulullah Saaw memberinya gelar Ummu Abiha atau ibu bagi sang ayah. Dengan menatap Sayyidatina Fathimah as, segala beban dan derita yang dipikul Rasulullah Saaw terasa ringan.
Sayyidatina Fathimah as selalu tersenyum ketika mendatangi sang ayah. Dan sebaliknya, meski memikili derajat yang sangat agung di sisi Allah SWT, Nabi dan kekasih Allah SWT ini sering mencium tangan putri kesayangannya itu.

Imam Ali as sekali lagi teringat peristiwa di Mekah, saat kaum kafir melempari Rasulullah Saaw dengan batu sehingga melukai kaki beliau. Menyaksikan kekurangajaran bangsa Qurays terhadap ayahnya, Sayyidatina Fathimah as, yang saat itu masih kecil, berlari ke arah Rasulullah Saaw. Dengan menahan luka hati yang sangat dalam, Sayyidatina Fathimah as menghibur dan merawat luka Rasulullah Saaw. Namun saat itu, satu pelajaran penting dia dapatkan, yaitu, bahwa menanggung derita dan musibah di jalan Allah SWT adalah hal yang indah dan manis. Hal itulah yang menyempurnakan jiwa seorang mukmin sejati.


Suasana hening yang memutar kembali kenangan-kenangan manis dan pahit dalam kehidupan Sayyidatina Fathimah as, membuat Imam Ali as semakin tenggelam dalam kesedihan. Tak terasa butir-butir bening air mata Imam Ali as menetes membasahi wajah sang istri yang terbaring lemas di pembaringan.
Mata Sayyidatina Fathimah as yang sayu terbuka dan memandang sekelilingnya. Sayyidatina Fathimah as melihat anak-anaknya yang kemarin asyik bermain di atas punggung Rasulullah Saaw kini tampak sedih dan tak bergairah. Sedangkan Imam Ali as, merasakan kesedihan dan kepiluan yang dalam. Hatinya bergejolak dan bertanya-tanya, mengapa istrinya yang masih sangat belia harus menangung segala derita ini? Bukankah Rasulullah Saaw telah menyebutkan bahwa Sayyidatina Fathimah as adalah penghulu seluruh kaum wanita? Bukankah permintaan Rasulullah Saww kepada umat sebagai balasan dakwah Ilahiyyah hanyalah kecintaan umat kepada keluarganya?

“Katakanlah, aku tidak mengharapkan upah apapun atas dakwah ini kecuali kecintaan kalian kepada keluargaku.”

Bukankah Rasulullah Saaw tidak mempunyai anak selain Sayyidatina Fathimah as yang diusia 18 tahun meninggalkan dunia ini dengan menanggung segala derita?

Imam Ali as memegang tangan Sayyidatina Fathimah as. Sentuhan itu memberikan semangat baru pada jiwa Imam Ali as. Dia teringat betapa Sayyidatina Fathimah as selalu menjadi pendamping dan penolong yang baik dan setia baginya. Kata-kata Sayyidatina Fathimah as kembali terngiang di benak Imam Ali as. “Wahai Ali, aku akan selalu menyertaimu di saat suka dan duka.”
Mengingat itu, tubuh Imam Ali as menggigil. Sebab, sepeninggal Rasulullah Saaw, Sayyidatina Fathimah as tampil sebagai pembela Imam Ali as yang paling setia dan ikut merasakan derita yang dirasakannya.
Meski wanita, Sayyidatina Fathimah Az-Zahra as sangat tanggap terhadap berbagai masalah dan peristiwa yang terjadi di sekitarnya, khususnya setelah Rasulullah Saaw wafat. Beliau tampil bagai singa menghadapi kebatilan di arena pergolakan sosial saat itu. Dalam sebuah pidatonya yang terkenal, penghulu wanita dunia ini menyadarkan masyarakat akan penyimpangan yang sedang terjadi. Untuk itu beliau telah siap untuk menanggung segala derita dan akibatnya. Sayyidatina Fathimah as mengenal semua orang munafik dan musyrik dan membongkar segala fakta dengan jelas.

Mengingat kasih sayang dan perjuangan Sayyidatina Fathimah as yang murni semakin membuat Imam Ali as tenggelam dalam kesedihan. Imam Ali as mengalihkan pandangan kepada anak-anaknya. Al-Hasan as dan Al-Husein as tampak sedih melihat keadaan sang ibu. Imam Ali as teringat saat kedua anaknya sakit. Dia dan istrinya bernadzar untuk berpuasa selama tiga hari demi kesembuhan mereka. Hari pertama, menjelang buka puasa, seorang fakir miskin mendatangi rumah mereka dan meminta sedekah makanan. Tanpa berpikir panjang, Sayyidatina Fathimah as memberikan makanan buka puasa kepada sang fakir. Hari kedua, menjelang buka puasa, kembali suara ketukan terdengar di balik pintu rumah mereka. Kali ini, seorang anak yatim datang meminta makanan. Makanan buka untuk hari kedua itu diserahkan oleh Sayyidatina Fathimah as kepadanya. Kejadian serupa terulang lagi di hari ketiga, namun saat itu seorang tawanan perang yang datang. Seperti dua hari sebelumnya kali inipun, penghulu wanita dunia itu membungkus makanan dan menyerahkannya kepada sang tawanan. Tiga hari berturut-turut, keluarga suci Rasulullah Saaw itu hanya berbuka dengan air. Apa yang mereka lakukan hanya demi keridhaan Allah SWT, sebab mereka tidak ingin mengecewakan orang yang datang meminta pertolongan kepada mereka. Rasulullah Saaw yang mengetahui hal itu, merasa prihatin akan keadaan mereka. Jibril as turun dan menyampaikan, “Wahai Muhammad, selamat atasmu yang memiliki keluarga seperti ini.” Jibril lantas membacakan surah Al-Insan kepada Rasulullah Saaw.

Imam Ali as terbayang kesempurnaan dan budi pekerti mulia sang istri. Dalam hati dia berkata, meski singkat, namun kehidupan Sayyidatina Fathimah as sarat dengan pelajaran. Imam Ali as bersyukur, karena kehidupannya dengan Sayyidatina Fathimah as diwarnai dengan cinta dan kasih sayang. Detik-detik akhir kehidupan Saayidatina Fathimah as terasa berat bagi Imam Ali as. Imam Ali as merasa bahwa dia harus kehilangan wanita paling mulia di atas muka bumi yang kehidupannya dihiasai dengan keimanan, ilmu, kesederhanaan dan kesabaran. Dia kehilangan wanita yang tidak tergoda sama sekali oleh dunia dan gemerlapnya. Bahkan di malam pengantin, Sayyidatina Fathimah as memberikan baju barunya kepada seorang wanita yang membutuhkan. Sedangkan dia sendiri memilih untuk memakai pakaian lama dan sederhana saat diiring ke rumah Imam Ali as. Imam Ali as meratapi nasibnya yang harus berpisah dengan istri yang berpengetahuan luas. Dialah yang waktunya banyak dihabiskan untuk menjawab persoalan yang diajukan oleh masyarakat. Imam Ali as sadar bahwa duka perpisahan dengan putri Rasulullah Saaw itu akan selalu dideritanya hingga akhir hayat. Sebab selama itu, Sayyidatina Fathimah as tidak ada lagi di sisinya.

Mengingat kenangan-kenangan itu, membuat Imam Ali as tak mampu lagi menahan deran air matanya. Perlahan Imam Ali as berbisik di telinga Sayyidatina Fathimah as “Istriku, keberadaanmu adalah pelipur laraku. Demi Allah, engkau adalah sebaik-baik wanita umat Muhammad Saaw. ”Sayyidatina Fathimah as membuka matanya dan dengan suara lirih yang nyaris teerdengar berkata, “Salam sejahtera atas Jibril as! Salam sejahtera atas Rasulullah! Ya Allah, berilah aku tempat di surga bersama nabi dan utusan-Mu.”

Sayyidatina Fathimah as berkata lagi, “Lihatlah, para malaikat dalam kemari bersama ayahku Rasulullah Saaw. Beliau bersabda kepadaku, “Fathimah putriku, cepatlah kemari! Songsonglah ajal yang menjemputmu yang mengantarkanmu ke tempat yang baik.” Salam untuk janjimu wahai ayah, dan salam untuk senyuman yang menawan.”

Sayyidatina Fathimah as putri dan buah hati Rasulullah Saaw pergi meninggalkan dunia yang menderanya dengan berbagai duka. Sayyidatina Fathimah as kini telah bebas dari himpitan kefanaan dan pergi menghadapTuhannya. Kepergian putri Rasulullah Saaw itu meluluhkan Imam Ali as, jawara Islam. Dengan suara bergetar, Imam Ali as berkata, “Tak ada kebaikan di dunia ini setelah kepergianmu, wahai Sayyidatina Fathimah Az-Zahra as. Aku menangis karena mencemaskan harus menjalani kehidupan yang panjang setelah kepergianmu.”

Assalammualaika ya Fathimah Az-Zahra...
Assalammualaika ya bint Ar-Rasul......
Assalammualaika ya Ummu Abiha........
Assalammualaika ya Ummu Aimmah...... Assalammualaika ya Al-Batul........